Pengibaran Merah Putih & Bendera One Piece: Nasionalisme Rasa Fandom

Baru-baru ini jagat maya Indonesia ramai membahas satu hal yang tampaknya sederhana, tapi bikin geger: bendera Merah Putih dikibarkan bareng bendera One Piece. Iya, bendera bajak lautnya Luffy yang ada tengkoraknya itu.
Oleh: Agung Nugroho, Ketua Umum Rekan Indonesia
Reaksinya? Campur aduk. Ada yang ngakak karena dianggap kreatif. Ada yang geram karena dianggap melecehkan lambang negara. Ada juga yang bingung, ini tuh sebenarnya salah atau enggak sih?
Tapi mari kita lihat ini bukan cuma soal boleh atau tidak. Fenomena ini justru membuka pertanyaan yang lebih menarik: sekarang ini, nasionalisme itu bentuknya kayak apa sih?
*Nasionalisme Nggak Melulu Serius*
Dulu, nasionalisme itu identik sama hal-hal serius: upacara, hormat bendera, dan pidato panjang di hari kemerdekaan. Tapi sekarang, anak-anak muda lebih sering menyatakan rasa cintanya ke Indonesia lewat cara yang lebih santai, bahkan kadang nyeleneh.
Nah, bendera Merah Putih dikibarin bareng Jolly Roger One Piece ini bisa dibilang salah satu contohnya. Bisa jadi, si pengibar nggak punya maksud melecehkan. Malah mungkin itu ekspresi jujur: “Gue cinta Indonesia. Tapi gue juga cinta Luffy.”
Kalau kata Benedict Anderson, bangsa itu adalah “komunitas yang dibayangkan”. Kita merasa senasib sebagai orang Indonesia karena kita berbagi cerita dan simbol yang sama. Tapi sekarang, cerita dan simbol itu bukan cuma datang dari sejarah nasional, tapi juga dari anime, film, dan budaya pop global lainnya.
*Luffy & Merah Putih: Dua Simbol, Dua Dunia?*
One Piece bukan sekadar anime. Di dalamnya ada cerita soal perjuangan, persahabatan, dan melawan ketidakadilan. Nilai-nilainya bisa dibilang nyambung juga sama semangat kemerdekaan.
Jadi wajar aja kalau banyak anak muda merasa lebih terhubung dengan cerita-cerita kayak gitu, ketimbang hafalan naskah proklamasi. Bukan karena mereka nggak nasionalis, tapi karena mereka butuh bahasa baru untuk mengekspresikannya.
Dalam dunia akademik, ini disebut nasionalisme kosmopolitan—konsep dari Craig Calhoun—yang intinya bilang: kita bisa cinta tanah air, tapi juga cinta budaya global. Nggak harus milih salah satu. Bukan pengkhianatan, tapi perluasan rasa cinta.
*Tapi Tetap Harus Hati-Hati*
Meski begitu, bukan berarti semua ekspresi bebas tanpa batas. Kalau semua simbol negara dijajarkan terus sama ikon budaya pop, lama-lama bisa kehilangan makna aslinya. Jadinya kayak properti konten doang, sekadar pemanis di foto TikTok.
Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai simulacra—simbol yang udah nggak punya makna nyata, cuma jadi salinan dari salinan, dan akhirnya cuma buat gaya-gayaan. Bendera bisa berubah dari simbol perjuangan jadi cuma aksesori cosplay.
Jadi perlu juga ada batas, bukan buat membatasi ekspresi, tapi biar makna dan rasa hormat tetap hidup.
*Solusinya: Jangan Dimarahi, Ajak Ngobrol*
Respon yang muncul kadang terlalu cepat: marah, lapor polisi, atau langsung ngecap “anak muda sekarang nggak punya nasionalisme.” Padahal, bisa jadi mereka justru sedang mencari bentuk baru untuk mencintai negaranya.
Daripada buru-buru ngegas, lebih baik negara, sekolah, dan media ngajak ngobrol. Ajak mereka ngomongin soal makna bendera, soal kemerdekaan, dan soal cara mencintai Indonesia di zaman yang udah berubah ini.
Karena faktanya: Merah Putih hari ini nggak hidup sendirian. Ia hidup bareng simbol-simbol baru yang dekat sama keseharian anak muda. Bukan saingan, tapi teman bicara.
Dan kalau suatu hari anak-anak muda berseru: “Merdeka!” sambil bilang, “I’m gonna be the Pirate King!” … barangkali itu bukan karena mereka bingung, tapi karena mereka tahu: nasionalisme bisa kok, dibalut fandom—asal maknanya tetap dijaga.