Pernyataan Blunder Menkeu Baru Purbaya Yudhi dan Harapan Pertumbuhan Ekonomi 6–8 Persen: Permintaan Maaf Kita Terima

Sugiyanto (SGY) – Emik (Ist)

“Geregetan! Perlu kita kritik habis-habisan, nih ya!” Begitulah ungkapan spontan saya ketika mendengar Menteri Keuangan yang baru saja dilantik menggantikan Sri Mulyani, yakni Purbaya Yudhi Sadewa. Baru beberapa jam menjabat setelah dilantik Presiden Prabowo Subianto pada Senin, 8 September 2025, ia sudah melontarkan pernyataan yang dinilai sebagai blunder.

Oleh : Sugiyanto (SGY)

Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Menteri Keuangan baru, Purnaya, diketahui membuat pernyataan yang dapat dianggap meremehkan tuntutan rakyat 17+8. Ia menyebut bahwa tuntutan tersebut hanya datang dari sebagian kecil masyarakat. Padahal ia sendiri mengatakan belum mempelajari tuntutan rakyat tersebu. Pernyataan itu segera menimbulkan kekecewaan, sebab justru dari tuntutan rakyat itulah lahir momentum politik yang berujung pada pergantian Menteri Keuangan. 

Secara logis, sebagai pejabat baru, Purnaya seharusnya menunjukkan penghormatan terhadap aspirasi publik, bukan justru meremehkannya. Sebagai Menteri Keuangan yang baru dilantik, ia seharusnya mampu bersikap santun serta lebih rendah hati dalam merespons berbagai hal.

Dalam pernyataannya di Kementerian Keuangan, ia mengatakan: “Tapi pada dasarnya begini. Itu, kan, suara sebagian kecil rakyat kita. Kenapa? Mungkin sebagian merasa terganggu hidupnya masih kurang, ya.” Ucapan seperti ini jelas tergolong kurang bijak. 

Alasan kurang bijak yakni, peryama, karena tuntutan 17+8 lahir dari proses panjang aksi massa yang memiliki legitimasi sosial. Kedua, karena seorang pejabat baru sepatutnya berterima kasih atas kepercayaan rakyat yang menjadi landasan perubahan. Maka, ketika ucapan itu dianggap arogan, publik wajar menilainya sebagai blunder politik yang harus segera diluruskan.

Meski demikian, masih ada ruang toleransi. Purbaya baru saja menjabat dan memang menggantikan seorang figur tangguh, Sri Mulyani, yang selama ini dikenal disegani. Kesalahan awal masih bisa dimaklumi, tetapi harus menjadi pelajaran keras agar tidak terulang. 

Menteri Keuangan tidak hanya mengelola angka-angka fiskal, tetapi juga mengelola kepercayaan publik. Dalam konteks demokrasi, setiap ucapan pejabat negara selalu berimplikasi politik. Jika ia kembali meremehkan aspirasi rakyat, bukan mustahil tuntutan mundur akan menguat.

Di sisi lain, Purbaya juga memberikan janji besar: mendorong pertumbuhan ekonomi ke angka 6–8 persen per tahun. Ia menyebut keresahan sosial akan hilang ketika ekonomi tumbuh 6–7 persen, sebab masyarakat akan lebih sibuk bekerja dan menikmati kesejahteraan. 

Pernyataan ini bisa dipahami secara teoritis, namun berisiko dianggap simplistik. Pertumbuhan ekonomi tidak otomatis meredakan keresahan sosial jika tidak dibarengi pemerataan manfaat. Bahkan, sejarah menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi tanpa keadilan sosial justru memicu ketimpangan dan gejolak baru.

Pertumbuhan 5–8 persen memang memiliki arti strategis. Pada level 5 persen, ekonomi Indonesia menunjukkan daya tahannya, ditopang konsumsi domestik dan stabilitas fiskal, meski distribusi manfaat belum merata. Naiknya ke 6 persen mencerminkan peningkatan investasi produktif, penguatan hilirisasi, dan penciptaan lapangan kerja formal. 

Target 7 hingga 8 persen bersifat ambisius, dengan tujuan keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Namun, untuk mencapainya, diperlukan reformasi struktural yang konsisten: revitalisasi industri manufaktur, penguatan riset, peningkatan kualitas SDM, hingga penataan ulang APBN agar tetap dalam koridor disiplin fiskal.

Proyeksi pertumbuhan global dan nasional menunjukkan bahwa target 7-8 persen bukan hal mudah. IMF pada Juli 2025 memperkirakan pertumbuhan Indonesia sekitar 4,8 persen, sementara Bank Dunia menempatkan proyeksi 2025–2027 di kisaran 4,7–5,5 persen. 

Sedangkan pemerintah sendiri lebih optimis dengan target 5,2–5,8 persen, didorong hilirisasi SDA dan investasi. Realitasnya, sejak satu dekade terakhir pertumbuhan Indonesia cenderung stabil di sekitar 5 persen. Artinya, lompatan menuju 6–8 persen tidak bisa dicapai hanya dengan melanjutkan kebijakan saat ini, melainkan membutuhkan reformasi fundamental.

Landasan hukumnya juga jelas. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara membatasi defisit APBN maksimal 3 persen PDB dan utang maksimal 60 persen PDB. Maka, target pertumbuhan tinggi harus dicapai tanpa mengorbankan disiplin fiskal. Reformasi pajak mutlak diperlukan mengingat tax ratio Indonesia masih rendah, sekitar 10,03 persen PDB. Tanpa peningkatan penerimaan negara, ruang fiskal untuk pembiayaan pembangunan akan sempit.

Selain itu, UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) menuntut pendalaman sektor keuangan untuk menurunkan biaya modal, sementara UU Perindustrian 2014 mengamanatkan industrialisasi berorientasi ekspor. Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan kebijakan ketenagakerjaan juga wajib ditempuh sesuai amanat UU Sisdiknas 2003 dan UU Ketenagakerjaan 2003. 

Selain itu, infrastruktur harus dikelola secara efisien, mengingat Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia masih tinggi, yakni sekitar 6,47. Transisi energi, sesuai Perpres Nomor 112 Tahun 2022, harus dijalankan secara kredibel agar dapat menarik investasi hijau. Sektor ekspor juga perlu diperkuat sesuai UU Perdagangan Tahun 2014, melalui perjanjian dagang strategis dan penyederhanaan prosedur kepabeanan.

Semua kebijakan ini harus dijalankan selaras dengan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). UU ini menjadi dasar hukum utama dalam penyusunan dan pelaksanaan perencanaan pembangunan di Indonesia, sehingga menjamin tercapainya tujuan bernegara melalui proses pembangunan yang terarah dan sistematis.

Tanpa konsistensi lintas sektor, target pertumbuhan tinggi hanya akan menjadi retorika politik. Pertumbuhan yang berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan adalah syarat mutlak agar angka 6–8 persen bukan sekadar mimpi, tetapi benar-benar terwujud sebagai capaian pembangunan nasional.

Dengan demikian, blunder pernyataan Purbaya seharusnya menjadi alarm dini bahwa seorang Menteri Keuangan tidak hanya dituntut pintar mengelola fiskal, tetapi juga bijak dalam menghormati aspirasi rakyat. Kredibilitas ucapan dan kebijakan berjalan beriringan. Jika ingin mencapai pertumbuhan tinggi, pemerintah harus membuktikan keseriusannya melalui reformasi nyata, bukan sekadar janji di podium.

Sebagai penutup, saya ingin menambahkan bahwa hari ini, Selasa, 9 September 2025, saya membaca berita bahwa Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, telah meminta maaf kepada publik atas pernyataannya tersebut. Saya bisa memahami permintaan maaf itu dan kita terima. Namun, jangan sampai terulang lagi pernyataan blunder semacam ini.