Risiko di Balik Ambisi PAM Jaya Jadi Perseroda dan IPO

Aktivis Cinta Jakarta Taufik Tope Rendusara

Transformasi PAM Jaya menjadi perseroda dan melantai di bursa lewat IPO terdengar modern dan menjanjikan. Narasinya: transparansi meningkat, modal segar masuk, inovasi bisa digenjot. Namun, di balik kilau wacana itu, ada risiko besar yang tidak bisa disepelekan—dan datanya sudah terlihat di lapangan.

Oleh : Taufik Tope Rendusara

Aktivis Cinta Jakarta

Pertama, risiko orientasi publik bergeser ke profit. Saat ini cakupan layanan air perpipaan PAM Jaya baru sekitar 68,49% warga Jakarta (per Juni 2024). Artinya, sepertiga warga ibu kota masih belum menikmati air pipa. Targetnya pada 2030 adalah 2.016.011 pelanggan, hampir dua kali lipat dari kondisi sekarang yang baru 941 ribu pelanggan. Jika IPO dilakukan, tekanan dari investor bisa membuat ekspansi ke wilayah padat dan miskin jadi lambat, karena kawasan tersebut dianggap kurang menguntungkan.

Kedua, risiko tarif. Selama 17 tahun tarif air PAM Jaya tidak pernah naik, baru pada Januari 2025 dinaikkan. Misalnya, untuk golongan “KI” (kios/industri kecil), tarif 0–10 m³ menjadi Rp1.000/m³, 11–20 m³ Rp1.500/m³, dan di atas 20 m³ Rp1.700/m³. Kenaikan ini saja sudah memicu perdebatan publik. Bayangkan jika tekanan profit dari bursa makin besar, potensi kenaikan tarif bisa lebih sering terjadi. Dampaknya jelas: warga kecil yang sudah terbebani biaya hidup bisa makin tertekan.

Ketiga, risiko investasi jangka panjang terhambat. Saat ini PAM Jaya mengelola sekitar 20.750 liter/detik, sementara kebutuhan seluruh warga Jakarta mencapai 31.000 liter/detik. Gap ini hanya bisa ditutup dengan proyek infrastruktur besar dan jangka panjang, termasuk peremajaan lebih dari 19.000 km pipa peninggalan lama. Masalahnya, investor di pasar modal cenderung berpikir jangka pendek dan mencari ROI cepat. Proyek besar yang butuh waktu puluhan tahun bisa dianggap kurang menarik.

Keempat, risiko sosial dan politik. Dengan rekor sambungan rumah baru 46 ribu sambungan pada 2024—angka tertinggi dalam 15 tahun terakhir—masyarakat mulai berharap banyak. Jika setelah IPO layanan stagnan sementara tarif melonjak, resistensi sosial bisa menguat. Narasi “jual air ke swasta” berpotensi memicu protes, apalagi air dipandang sebagai hak dasar, bukan komoditas bisnis.

Kelima, risiko tata kelola dan pasar modal. Sebagai perusahaan terbuka, PAM Jaya harus tunduk pada aturan bursa yang keras. Laporan keuangan wajib transparan, kinerja harus prima, dan harga saham bisa naik-turun mengikuti sentimen pasar. Padahal, kebutuhan air bersih warga tidak boleh ikut-ikutan fluktuatif seperti grafik IHSG.

Singkatnya, menjadikan PAM Jaya perseroda dan IPO adalah pedang bermata dua. Memang ada peluang modal besar masuk, tapi risiko yang mengintai jauh lebih fundamental: tergesernya misi pelayanan publik menjadi orientasi profit, kenaikan tarif yang makin memberatkan warga, dan terhambatnya pembangunan jangka panjang yang sangat dibutuhkan. 

Yang dipertaruhkan bukan sekadar saham dan dividen, melainkan hak air bersih jutaan warga Jakarta.