15 Langkah Efektif Mengatasi Banjir Jakarta: Pembangunan Terowongan Bawah Tanah Perlu Segera Dikaji

Foto-IST-Sugiyanto (SGY)-Emik

BEBERAPA negara di dunia telah membangun sistem modern untuk mengatasi banjir, dan pendekatan serupa perlu dikaji untuk diterapkan di Jakarta

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Refleksi Banjir Jakarta, 6–8 Juli 2025

Kemarin, Senin, 7 Juli 2025, Radio Elshinta menghubungi saya untuk mewawancarai terkait persoalan banjir Jakarta. Artikel ini merupakan lanjutan sekaligus pelengkap dari wawancara tersebut.

Sebagaimana diketahui, banjir kembali melanda Jakarta pada tanggal 6 hingga 8 Juli 2025, menjadi tamparan keras bagi semua pihak. Hampir seluruh wilayah Jakarta terdampak, mulai dari Jakarta Selatan, Timur, Barat, Utara, hingga Pusat. Informasi lengkap mengenai jumlah korban, kerugian, serta cakupan wilayah terdampak dapat diperoleh melalui data resmi dari BPBD DKI Jakarta.

Ketinggian air yang mencapai 30 hingga 150 cm di berbagai titik menyebabkan kemacetan parah, mengganggu aktivitas ekonomi, serta merusak infrastruktur kota. Kondisi ini semakin menambah penderitaan masyarakat yang telah terbebani oleh berbagai persoalan perkotaan lainnya.

Permasalahan banjir di Jakarta bukanlah hal baru. Sejak zaman kolonial Belanda, banjir telah menjadi bagian dari sejarah kota ini. Namun, situasi saat ini semakin diperparah oleh kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan, serta penyimpangan dalam tata ruang kota. Akibatnya, siklus banjir terus berulang karena lemahnya penanganan, baik dari sisi struktural maupun kultural.

Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah yang konkret, strategis, dan berani untuk menyelesaikan akar persoalan banjir secara sistematis dan berkelanjutan.

Perlu diketahui, banjir di Jakarta dipicu oleh kombinasi tiga faktor utama: curah hujan ekstrem, air rob dari laut, serta banjir kiriman dari hulu 13 sungai yang bermuara di Ibu Kota. Selain itu, topografi Jakarta turut memperburuk situasi. Wilayah ini didominasi oleh dataran rendah, dengan ketinggian rata-rata sekitar 8 meter di atas permukaan laut. Beberapa kawasan, terutama di bagian utara yang berdekatan dengan pantai, bahkan berada di bawah permukaan laut.

Kondisi tersebut menjadikan Jakarta sangat rentan terhadap genangan dan banjir, baik akibat curah hujan tinggi, air pasang dari laut, maupun banjir kiriman dari daerah hulu — terlebih ketika ketiganya terjadi secara bersamaan.

Sebagai refleksi, berikut 15 langkah jitu yang dapat menjadi solusi jangka pendek, menengah, dan panjang:

Langkah pertama adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pejabat yang bertanggung jawab dalam penanggulangan banjir. Jika terbukti lalai atau gagal menjalankan tugas, mereka harus dicopot dari jabatannya. Ini penting sebagai bentuk akuntabilitas dan untuk membangun budaya kinerja berbasis hasil. Penanganan banjir tidak bisa lagi bersifat reaktif atau sekadar ceremonial saat bencana datang.

Langkah kedua adalah menempatkan figur profesional dan kompeten di posisi strategis. Pejabat yang memiliki kapasitas teknis dan dedikasi tinggi dalam tata kelola air, infrastruktur, dan lingkungan perkotaan akan berdampak langsung pada efektivitas kebijakan pengendalian banjir.

Selanjutnya langkah ketiga yaitu bahwa, Fungsi Sodetan Ciliwung serta Bendungan Ciawi dan Sukamahi harus dievaluasi dan dioptimalkan. Sodetan Ciliwung yang bertujuan mengalihkan sebagian aliran Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur harus maksimalkan sepenuhnya. Bendungan Ciawi dan Sukamahi yang berfungsi sebagai bendungan kering juga harus dipastikan berfungsi maksimal sebagai penahan debit air dari hulu agar tidak meluap ke hilir Jakarta.

Langkah keempat adalah, pembangunan tanggul laut di pesisir Jakarta Utara harus segera diselesaikan. Tanggul ini sangat penting untuk mencegah masuknya air laut (rob), apalagi mengingat penurunan muka tanah yang terus terjadi di wilayah tersebut.

Langkah kelima yaitu, normalisasi 13 sungai di Jakarta harus dilakukan secara menyeluruh. Sungai seperti Ciliwung, Pesanggrahan, dan Angke harus dinormalisasi melalui pelebaran, pengerukan, serta penguatan tanggul. Pemeliharaan ekosistem sungai juga harus diperhatikan agar sungai tidak kembali menyempit dan dangkal akibat sedimentasi.

Langkah keenam yakni, pemukiman di bantaran sungai harus direlokasi secara manusiawi. Warga harus dipindahkan ke hunian yang layak, aman, dan terjangkau, baik rumah susun maupun rumah tapak. Langkah ini harus dilakukan dengan pendekatan sosial yang adil. Proses relokasi harus mengedepankan komunikasi dua arah untuk menghindari konflik sosial.

Langkah ketujuh adalah, pembangunan embung, waduk, dan danau buatan di berbagai titik strategis perlu diperbanyak. Infrastruktur ini dapat menampung limpasan air hujan, mengendalikan debit air, serta menjadi ruang terbuka hijau yang bermanfaat secara ekologis dan sosial.

Langkah kedelapan adalah, pintu air dan pompa banjir harus ditambah dan dimodernisasi. Peralatan harus berbasis teknologi otomatis, dan petugas pengelola harus dilatih secara profesional. Sistem ini harus siaga 24 jam untuk merespons kenaikan permukaan air secara cepat dan tepat.

Langkah sembilan yaitu, pembuangan sampah ke sungai harus dilarang secara tegas. Diperlukan peraturan daerah yang memberikan sanksi keras bagi pelanggar, termasuk denda dan kerja sosial. Kesadaran masyarakat harus dibangun melalui edukasi, kampanye, serta pengawasan yang konsisten.

Langkah kesepuluh adalah pengambilan air tanah harus dibatasi secara ketat. Penurunan muka tanah akibat eksploitasi air tanah memperparah risiko banjir rob. Pemerintah harus memperketat izin pengambilan air tanah, terutama bagi sektor industri, dan menegakkan hukum secara konsisten.

Langkah kesebelas adalah sistem drainase kota perlu dibangun ulang. Drainase lama harus dievaluasi dan dirancang kembali sesuai dengan prediksi intensitas hujan lima hingga sepuluh tahunan. Saluran air perlu diperbesar, diperbaiki, dan dijaga kebersihannya agar berfungsi maksimal.

Kemudian langkah keduabelas yakni pembuatan sumur resapan harus menjadi kewajiban bagi setiap bangunan di Jakarta, baik rumah tangga maupun gedung perkantoran. Pemerintah dapat memberikan insentif serta pendampingan teknis untuk memastikan efektivitas implementasinya. Sumur resapan berfungsi mengurangi limpasan air hujan dan mengembalikan air ke tanah.

Dan yang juga penting adalah langkah ketigabelas, yaitu, segera melakukan kajian pembangunan terowongan bawah tanah (underground reservoir). Kota-kota besar dunia seperti Tokyo dan Kuala Lumpur telah membuktikan efektivitas sistem ini dalam menampung air hujan dalam jumlah besar tanpa mengganggu aktivitas di permukaan kota.

Beberapa negara di dunia telah membangun sistem modern untuk mengatasi banjir, dan pendekatan serupa perlu dikaji untuk diterapkan di Jakarta.

Negara-negara seperti Jepang dan Malaysia, misalnya, menggunakan sistem underground reservoir (penampungan air bawah tanah) sebagai solusi pengendalian banjir. Tokyo memiliki Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel (MAOUDC), yang dikenal juga sebagai “Katedral Bawah Tanah”. Sementara itu, Malaysia mengoperasikan SMART Tunnel (Stormwater Management and Road Tunnel), sebuah terowongan multifungsi yang berfungsi sebagai jalan raya dan saluran air.

Negara lain seperti Singapura dan Tiongkok juga telah mengembangkan sistem serupa. Singapura, misalnya, memiliki kolam retensi dan sistem drainase bawah tanah canggih sebagai bagian dari inisiatif pengelolaan air terpadu.

Di Eropa, Belanda menjadi contoh sukses dalam pengendalian banjir. Pemerintah Belanda membangun sistem raksasa bernama Delta Words, yang terdiri dari sembilan bendungan dan empat penghalang badai. Sistem ini berfungsi untuk menutup muara sungai serta mengurangi garis pantai hingga 700 kilometer, sehingga mampu melindungi wilayah daratan dari ancaman banjir laut.

Sementara itu, di Italia, pemerintah meluncurkan proyek Modulo Sperimentale Elettromeccanico (MOSE) sebagai upaya perlindungan terhadap kota Venesia. Proyek ini mencakup pembangunan sistem penghalang raksasa yang berfungsi menahan air laut agar tidak meluap ke kota saat terjadi pasang naik.

Selanjutnya langkah keempat belas adalah, sistem peringatan dini harus dimaksimalkan. Penguatan sistem early warning melalui BPBD, BMKG, dan kanal komunikasi digital sangat penting untuk memberikan informasi cepat dan akurat kepada masyarakat. Peringatan dini yang efektif dapat menyelamatkan nyawa dan mengurangi kerugian material.

Yang terakhir, langkah kelimabelas, yakni, koordinasi lintas wilayah dan tingkat pemerintahan harus diperkuat. Jakarta tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan kerja sama erat dengan wilayah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, serta Pemerintah Pusat. Dalam hal ini tentu untuk membahas dalam hal perencanaan tata ruang, pengelolaan DAS, dan pembangunan infrastruktur pengendali banjir. Penegakan aturan tata ruang juga harus dilakukan secara tegas untuk mencegah pembangunan liar di kawasan rawan.

Banjir bukan hanya soal air, tetapi tentang keberanian dalam mengambil keputusan, tata kelola yang baik, dan kesadaran kolektif semua pihak. Jakarta tidak boleh terus-menerus menjadi langganan banjir setiap tahun. Kini saatnya mengambil langkah nyata, menyeluruh, dan berani demi masa depan kota yang lebih aman dan layak huni.