Anak Bukan Tentara : Pentingnya Pendekatan Kebijakan Publik yang Inklusif, Bukan ke Barak

PENDEKATAN semacam ini berpotensi sangat berisiko bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Tiba-tiba seorang teman wartawan bertanya kepada saya mengenai perbandingan penanganan anak bermasalah di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Ia mempertanyakan pendekatan humanis versus pendekatan militeristik. Untuk menjawabnya secara utuh, saya memutuskan menulis artikel ini.
Penanganan terhadap anak-anak bermasalah, atau yang kerap disebut “anak nakal”, merupakan isu penting dalam tata kelola pemerintahan daerah. Dalam hal ini, pendekatan yang diambil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Pramono Anung dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah Gubernur Dedi Mulyadi memperlihatkan perbedaan yang mencolok, baik dari sisi filosofi, arah kebijakan, maupun keberpihakan terhadap hak-hak anak.
Gubernur Dedi Mulyadi cenderung menggunakan pendekatan yang kontroversial, dengan wacana mengirim anak-anak yang dinilai “nakal” ke barak militer. Walau mungkin dimaksudkan untuk membentuk disiplin, pendekatan semacam ini berpotensi sangat berisiko bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak.
Ketentuan tentang perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Undang-undang ini menegaskan sejumlah hak anak dan pelindungan khusus terhadap mereka, serta larangan-larangan yang wajib ditaati oleh pemerintah pusat maupun daerah. Gagasan mengirim anak ke barak militer mungkin bisa dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma-norma tersebut.
Sebaliknya, Gubernur Pramono Anung mengambil pendekatan yang jauh lebih humanis dan progresif. Melalui kebijakan membuka akses taman kota, perpustakaan, dan museum selama 24 jam, Pemprov DKI Jakarta menyediakan ruang-ruang publik yang edukatif, aman, dan produktif bagi anak-anak dan remaja yang rentan terhadap perilaku menyimpang.
Kebijakan tersebut patut diapresiasi karena selaras dengan prinsip perlindungan anak serta sejalan dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada pendidikan dan kebudayaan.
Langkah-langkah tersebut juga mendukung amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengakui pentingnya pendidikan nonformal dan informal sebagai bagian dari proses pembentukan karakter anak. Taman kota, perpustakaan, dan museum adalah elemen penting dari ekosistem pendidikan informal yang mampu menumbuhkan rasa ingin tahu, kreativitas, serta perilaku positif di kalangan anak-anak dan remaja.
Pendekatan Gubernur Pramono Anung ini juga mencerminkan pelaksanaan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi ini menegaskan bahwa pemenuhan hak anak adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, keluarga, negara, dan masyarakat internasional. Termasuk di dalamnya adalah pemberian ruang tumbuh dan kesempatan berkembang yang layak bagi setiap anak.
Dalam konteks ini, perlu untuk disadari bahwa mengatasi kenakalan anak tidak semata-mata soal penindakan, tetapi juga menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan psikologis. Banyak anak yang berperilaku menyimpang berasal dari lingkungan yang tidak kondusif, minim perhatian, serta terbatas akses terhadap hiburan dan pendidikan yang sehat. Karena itu, kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang membuka ruang-ruang publik kreatif dan edukatif selama 24 jam merupakan investasi sosial jangka panjang yang patut dicontoh.
Sebaliknya, pendekatan yang berorientasi pada pemidanaan atau pelatihan militer terhadap anak-anak justru berpotensi berisiko menimbulkan trauma, memperburuk kondisi sosial. Selain itu, mengirim atau mendidik anak ke Barak Militer juga mungkin bisa menciptakan stigma yang merugikan masa depan mereka. Sementara itu, menciptakan ruang yang aman, inklusif, dan inspiratif memungkinkan anak-anak tumbuh dengan potensi terbaiknya tanpa merasa tersisih atau dikucilkan.
Perbedaan kebijakan antara DKI Jakarta dan Jawa Barat dalam menangani anak-anak bermasalah atau anak nakal ini menunjukkan bagaimana visi dan sensitivitas seorang kepala daerah dapat memengaruhi arah pembangunan generasi muda. Pendekatan represif yang mengedepankan ketertiban semu tanpa empati terhadap kondisi psikososial anak boleh jadi bisa mengabaikan hak-hak dasar mereka.
Sebaliknya, pendekatan yang inklusif, edukatif, dan partisipatif membuka jalan menuju solusi yang lebih beradab, berkelanjutan, dan memanusiakan anak-anak sebagai bagian dari masa depan bangsa. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip dasar yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.