Duet Pramono-Rano Perlu Evaluasi DLH DKI: RDF Rorotan Gagal Diresmikan dalam 100 Hari Kerja
Artikel ini merupakan kelanjutan dari empat tulisan saya sebelumnya yang membahas tentang proyek RDF Plant Rorotan dan ITF Sunter Jakarta. Dalam tulisan kali ini, saya kembali mengulas kedua proyek tersebut sebagai bentuk evaluasi sekaligus memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan masyarakat luas.
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Pada tulisan keempat sebelumnya, saya telah mengusulkan agar DPRD DKI Jakarta membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menelusuri persoalan RDF Plant Rorotan secara menyeluruh.
Sebagai masukan kepada Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo dan Wakil Gubernur Rano Karno, saya menilai perlu dipertimbangkan untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah melakukan pergantian atau rotasi terhadap Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto.
Alasan paling logis atas langkah tersebut adalah karena Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto, telah gagal menepati target peresmian RDF Plant Rorotan yang seharusnya menjadi bagian dari program 100 hari kerja Gubernur Pramono Anung setelah dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto pada 20 Februari 2025.
Berdasarkan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor e-0001 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Program 100 Hari Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, dalam lampiran disebutkan bahwa pada minggu ke-9 (21–27 April 2025) dijadwalkan peresmian RDF Plant Rorotan. Namun, kenyataannya peresmian tersebut gagal dilaksanakan karena masih banyak kendala teknis dan munculnya keluhan dari masyarakat sekitar terkait uji coba (commissioning) proyek tersebut.
Gagalnya peresmian RDF Plant Rorotan saat itu jelas mencoreng citra Gubernur Pramono Anung, karena proyek tersebut telah tercantum dalam dokumen resmi Program 100 Hari Kerja. Padahal, program ini disusun berdasarkan prinsip tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat kualitas, serta menjadi bagian dari strategi quick wins dalam mendukung pelaksanaan RPJMD DKI Jakarta 2025–2029.
Seharusnya, kegagalan tersebut sudah cukup menjadi dasar bagi Gubernur Pramono Anung untuk mengevaluasi dan bahkan mengganti Kepala DLH DKI Jakarta Asep Kuswanto. Namun, karena sifatnya yang bijak, Gubernur masih memberikan kesempatan untuk dilakukan perbaikan teknis serta penyelesaian keluhan warga. Sayangnya, hingga Oktober 2025, RDF Plant Rorotan masih dalam tahap uji coba dan belum beroperasi secara resmi.
Selain persoalan teknis dan jadwal yang molor, proyek RDF Rorotan juga menimbulkan pertanyaan besar terkait arah kebijakan lingkungan dan tata kelola proyek strategis daerah, terutama setelah adanya pembatalan, penghentian, atau penundaan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) PLTSa atau ITF Sunter Jakarta. Dalam empat tulisan saya sebelumnya, telah diuraikan secara rinci berbagai persoalan yang muncul pada kedua proyek tersebut.
Seluruh uraian tersebut dapat dijadikan referensi penting dalam melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap kebijakan dan pelaksanaan proyek RDF Rorotan, sekaligus terhadap keputusan penghentian proyek ITF Sunter.
Dari berbagai persoalan tersebut, muncul sejumlah pertanyaan kritis yang perlu dijawab secara terbuka. Mengapa mantan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Heru Budi Hartono, berani menghentikan atau menunda proyek Strategis Nasional (PSN) PLTSa atau ITF Sunter? Mengapa Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, justru begitu bersemangat mendukung pembangunan RDF Plant Rorotan, padahal proyek ini tidak memiliki dasar hukum dan posisi strategis yang setara dengan PSN PLTSa Sunter?
Pertanyaan kritis lainnya ialah apakah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta telah menyusun kajian lingkungan yang memadai, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sebelum memutuskan untuk membangun proyek tersebut. Selain itu, bagaimana proses tender proyek RDF Rorotan senilai Rp1,2 triliun dilaksanakan, dan apakah seluruh tahapan pengadaan telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Pertanyaan lain yang tak kalah penting ialah mengapa proyek RDF Plant Rorotan gagal diselesaikan sesuai kontrak hingga 31 Desember 2024, padahal seluruh pembiayaannya telah dialokasikan penuh dari APBD Tahun Anggaran 2024?
Lalu muncul pertanyaan berikutnya, mengapa proyek yang sudah dibayar lunas justru kembali mengajukan tambahan anggaran melalui pos Belanja Tak Terduga (BTT) Tahun Anggaran 2025 untuk pengadaan sistem Wet Electrostatic Precipitator (Wet ESP) beserta perangkat pendukungnya. Kondisi ini jelas janggal, karena proyek yang telah dibayar penuh seharusnya tidak lagi membutuhkan tambahan anggaran
Selain itu, mengapa pula terjadi perpanjangan masa pekerjaan hingga lima kali, dengan batas akhir pelaksanaan pada 31 Desember 2025?
Lebih jauh lagi, apakah benar dugaan bahwa selama masa perpanjangan kontrak belum terdapat jaminan pelaksanaan senilai Rp64,2 miliar? Jika benar, hal ini sangat berisiko karena berarti pekerjaan tersebut tidak dijamin dari sisi waktu, biaya, maupun mutu sebagaimana diatur dalam kontrak. Ketiadaan jaminan pelaksanaan juga berpotensi menimbulkan kerugian daerah apabila terjadi keterlambatan atau ketidaksesuaian hasil pekerjaan.
Permasalahan tersebut jelas berpotensi melanggar ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021, serta Surat Edaran Sekretaris Daerah DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2024 tentang Pembayaran Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan pada Akhir Tahun Anggaran.
Lebih jauh lagi, penghentian atau penundaan proyek PSN PLTSa/ITF Sunter dan penggantiannya dengan proyek RDF Rorotan berpotensi tidak sejalan dengan kebijakan nasional. Selain itu, langkah tersebut juga berpotensi melanggar berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk mengandung dugaan perbuatan melawan hukum (PMH), serta mungkin dapat bertentangan dengan prinsip dan upaya pencegahan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Dalam konteks tersebut, publik wajar mempertanyakan apakah RDF Plant Rorotan benar-benar mampu memenuhi klaim teknisnya, yaitu mengolah 2.500 ton sampah per hari dan menghasilkan 874 ton bahan bakar RDF setiap hari. Masyarakat kini menantikan pembuktiannya: apakah fasilitas tersebut benar-benar dapat beroperasi secara resmi pada November 2025 sebagaimana dijanjikan oleh Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto.
Melihat kompleksitas persoalan yang ada, sudah sepatutnya duet Pramono–Rano mengambil langkah tegas dan strategis. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo sebaiknya segera melakukan rotasi atau penggantian terhadap Kepala DLH Asep Kuswanto. Langkah ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik, memberikan semangat baru bagi aparatur sipil negara di lingkungan Pemprov DKI, serta memperkuat kinerja birokrasi demi kemajuan Jakarta dan kesejahteraan masyarakatnya.
Selain itu, duet Pramono–Rano perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja DLH DKI Jakarta, meliputi status perizinan dan kepatuhan lingkungan RDF Rorotan, kendala teknis yang menyebabkan keterlambatan operasi, partisipasi masyarakat dan penyelesaian dampak lingkungan, transparansi penggunaan anggaran, serta efektivitas proyek dalam mengurangi beban sampah Jakarta.
Evaluasi tersebut harus dilakukan secara terbuka dan berbasis data agar publik dapat menilai bahwa proyek tersebut benar-benar membawa manfaat nyata, bukan sekadar menjadi simbol keberhasilan administratif. Jika hambatan yang ditemukan bersifat teknis dan masih dapat diperbaiki, DLH harus segera menyusun rencana aksi percepatan yang konkret. Namun, jika hambatan yang dihadapi bersifat struktural atau regulatif, maka kelanjutan proyek ini harus dikaji ulang secara terbuka dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait.
Dengan demikian, proyek RDF Plant Rorotan yang dijanjikan sebagai bagian dari program 100 hari kerja Gubernur DKI Jakarta hingga kini belum mampu direalisasikan sesuai target operasional penuh.
Pendalaman terhadap proyek RDF Rorotan menjadi semakin relevan jika dikaitkan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan proyek PLTSa—termasuk ITF Sunter Jakarta—sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), bukan proyek seperti RDF Rorotan.
Semua kondisi tersebut menuntut adanya pengawasan dan evaluasi yang serius dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas pelaksanaannya benar-benar terjamin. Langkah ini juga penting untuk menegakkan hak warga atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta berbagai peraturan perundang-undangan terkait lainnya, termasuk pelaksanaan ketentuan UUD 1945 sebagai dasar konstitusionalnya.
