Dugaan Pengoplosan Beras: Gubernur Pramono Perlu Segera Nonaktifkan Pimpinan PT FSTJ dan Jalankan Tujuh Langkah Penting!

Foto-IST-Sugiyanto (SGY)-Emik

TINDAKAN ini penting agar proses pemeriksaan dan investigasi bisa dilakukan secara menyeluruh, objektif, dan tanpa hambatan dari pihak internal

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Sekitar pukul 13.00 WIB siang ini, tiba-tiba seorang teman wartawan menelepon saya dan meminta pendapat terkait dugaan pengoplosan serta pelanggaran mutu beras oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta, PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ).

Ia berkata, “Segera ya, Bang SGY, ulasannya. Ini mau segera di-update.” Saya pun menjawab singkat, “Oke deh, Brother,” sambil mengakhiri pembicaraan kami.

Dengan tergesa, saya menulis artikel ini sesuai dengan judul di atas.

Baiklah. Sebagaimana diketahui, masalah ini telah menimbulkan kekhawatiran serius di tengah masyarakat. Kementerian Pertanian menyatakan bahwa produk beras dari FSTJ tidak memenuhi standar mutu beras premium dan dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Temuan ini diperkuat oleh hasil uji laboratorium dari lima lembaga independen serta investigasi yang dilakukan oleh Satgas Pangan. Indikasi kuat adanya praktik pengoplosan dan pelanggaran mutu merupakan persoalan serius yang tidak bisa ditoleransi, karena menyangkut hak masyarakat atas pangan yang aman, sehat, dan sesuai standar.

Dalam menghadapi kondisi ini, diperlukan tindakan tegas, objektif, dan sistematis dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Gubernur Pramono Anung harus segera mengambil langkah konkret demi menjamin integritas dan kredibilitas pengelolaan BUMD, serta mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan pangan daerah.

Langkah pertama yang harus diambil adalah menonaktifkan seluruh jajaran direksi dan dewan komisaris atau dewan pengawas PT FSTJ. Tindakan ini penting agar proses pemeriksaan dan investigasi bisa dilakukan secara menyeluruh, objektif, dan tanpa hambatan dari pihak internal. Penonaktifan bersifat sementara, namun menjadi wujud komitmen terhadap prinsip good governance dan akuntabilitas publik.

Langkah kedua, Gubernur Pramono harus segera memerintahkan audit forensik oleh lembaga audit independen terhadap seluruh rantai produksi dan distribusi FSTJ. Audit ini diperlukan untuk mengungkap apakah terdapat unsur kesengajaan dalam dugaan praktik pengoplosan, pelanggaran standar mutu, atau manipulasi harga jual. Transparansi hasil audit akan menjadi pijakan penting dalam proses hukum maupun reformasi internal perusahaan.

Langkah ketiga yakni, Gubernur Pramono perlu memerintahkan agar distribusi produk beras dari FSTJ yang diduga bermasalah juga perlu dihentikan sementara, guna melindungi konsumen dari potensi kerugian dan memastikan tidak ada produk substandar yang beredar di pasar selama proses investigasi berlangsung. Langkah ini bersifat preventif sekaligus menunjukkan komitmen untuk menjamin keamanan pangan masyarakat DKI Jakarta.

Kemudian langkah keempat, Gubernur Pramono juga perlu melakukan koordinasi intensif dengan Satgas Pangan, Kementerian Pertanian, dan aparat penegak hukum, seperti Bareskrim Polri, untuk membuka seluruh data terkait logistik dan distribusi beras FSTJ. Kolaborasi lintas lembaga akan mempercepat proses penelusuran dan penindakan apabila ditemukan unsur pidana atau pelanggaran administratif.

Dalam situasi krisis seperti ini, Gubernur harus tampil sebagai pemimpin yang tegas dan transparan. Pernyataan resmi yang disampaikan kepada publik harus mencerminkan sikap objektif, tidak defensif, dan terbuka terhadap temuan lembaga negara. Transparansi adalah fondasi utama dalam menjaga kepercayaan publik, sekaligus mencegah asumsi negatif yang bisa memperkeruh suasana.

Kelima adalah, Gubernur Pramono harus melakukan evaluasi kinerja seluruh jajaran direksi dan dewan pengawas FSTJ harus dilakukan segera. Jika terbukti terdapat kelalaian atau keterlibatan dalam pelanggaran, Gubernur memiliki kewenangan penuh untuk memberhentikan pimpinan BUMD yang gagal menjalankan tugasnya secara profesional dan beretika.

Langkah keenam adalah Gubernur Pramono perlu merevisi kebijakan pangan strategis di DKI Jakarta. Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penyediaan beras murah, mulai dari tahap pengadaan, penyimpanan, hingga distribusi. Reformasi kebijakan diperlukan agar program pangan terjangkau tidak disalahgunakan untuk kepentingan bisnis yang merugikan masyarakat.

Terakhir langkah ketujuh yakni, Gubernur Pramono Anung juga harus dilibatkan masyarakat secara aktif dalam pengawasan. Pemerintah perlu mendorong kesadaran publik agar proaktif melaporkan setiap dugaan pelanggaran, seperti beras oplosan atau harga tidak wajar, ke saluran pengaduan resmi seperti Satgas Pangan, Ombudsman, atau Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta. Partisipasi warga sangat penting sebagai bentuk kontrol sosial terhadap kebijakan publik.

Skandal dugaan pengoplosan dan pelanggaran mutu beras oleh PT FSTJ adalah peringatan keras bahwa isu pangan bukan semata persoalan teknis, tetapi menyangkut keadilan sosial, integritas birokrasi, dan etika pelayanan publik. Dalam konteks ini, seluruh pihak—pemerintah daerah, legislatif, aparat penegak hukum, hingga masyarakat—harus mengambil peran aktif demi menjamin pangan yang dikonsumsi warga adalah aman, layak, dan terjangkau.

Penegakan hukum yang tegas dan reformasi sistem pangan di DKI Jakarta tidak boleh dilakukan setengah hati. Harus ada komitmen bersama untuk menegakkan keadilan dan memperbaiki sistem dari akar, demi menjaga martabat pelayanan publik dan kepercayaan masyarakat.