HUT ke-498 Jakarta : Dinamika Kota dari Zaman Kerajaan, Jayakarta, hingga Menuju Kota Global di Bawah Kepemimpinan Gubernur Pramono Anung

Sugiyanto (SGY)-Emik

JAKARTA menatap masa depan sebagai kota dunia—bukan sekadar kota nasional. Jakarta akan menjadi episentrum baru ekonomi, budaya, dan inovasi, tempat bertemunya investasi global, talenta internasional, dan ide-ide perubahan

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Kemarin, Minggu, 22 Juni 2025, seorang teman wartawan mengirim pesan WhatsApp berisi: “Ngomongin HUT Jakarta dong.” Saat itu, saya sedang berolahraga renang di kawasan Ancol. Setelah tiba di rumah, tubuh sudah lelah, dan saya langsung beristirahat. Pagi ini, Senin, 23 Juni 2025, saya langsung menulis artikel ini sebagai respons atas permintaan teman tersebut. Tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498 Kota Jakarta yang jatuh pada Minggu, 22 Juni 2025..

Membahas dinamika Jakarta sebagai kota megapolitan tentu tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang sejarahnya. Cerita ini harus dimulai dari masa kerajaan, penjajahan, kemerdekaan, hingga era kontemporer, termasuk di bawah kepemimpinan Gubernur Pramono Anung.

Berdasarkan catatan sejarah, cikal bakal wilayah Jakarta telah dikenal sejak abad ke-4 hingga ke-5 Masehi. Saat itu, wilayah ini berada dalam kekuasaan Kerajaan Hindu Tarumanegara, kerajaan tertua kedua di Nusantara setelah Kutai. Tarumanegara mencapai puncak kejayaan di bawah Raja Purnawarman sebelum runtuh pada 669 M. Runtuhnya kerajaan ini melahirkan dua entitas baru: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Sekitar abad ke-14, Jakarta masuk dalam wilayah Kerajaan Sunda (Pajajaran), yang berdiri sejak 932 M hingga 1579 M dengan pusat pemerintahan di Pakuan (Bogor saat ini). Pelabuhan Sunda Kelapa, yang kini dikenal sebagai Jakarta, menjadi pelabuhan utama kerajaan ini.

Pada 1522, Pajajaran menandatangani perjanjian dengan Portugis yang mengizinkan mereka membangun benteng di Sunda Kelapa sebagai imbalan pasokan lada. Namun, sekitar 1526, Sunan Gunung Jati bersama pasukan dari Cirebon dan Demak berhasil merebut Banten. Setahun kemudian, pada 22 Juni 1527, pasukan Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari Portugis dan mengganti namanya menjadi Jayakarta.

Nah, tanggal 22 Juni 1527 inilah yang kemudian diperingati sebagai hari jadi Jakarta. Artinya, perayaan puncak HUT Jakarta yang berlangsung kemarin di Lapangan Banteng menandai usia Jakarta yang genap 498 tahun, terhitung sejak 22 Juni 1527 hingga 22 Juni 2025.

Pada Minggu, 22 Juni 2025 itu, masyarakat Jakarta bergembira bersama para pemimpin ibu kota. Mereka menyambut dengan antusias kehadiran Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo dan Rano Karno (Pram-Rano), dalam perayaan puncak HUT ke-498 Kota Jakarta yang digelar di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Diketahui  Pramono Anung dan Rano Karno tiba di lokasi sekitar pukul 18.12 WIB.

Oke, kita kembali ke kisah Fatahillah yang merebut Pelabuhan Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta. Pada masa selanjutnya, Jayakarta sempat menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Banten dan Cirebon, hingga akhirnya direbut dan dihancurkan oleh VOC Belanda pada tahun 1619. VOC kemudian membangun kota baru di atas reruntuhan Jayakarta dan menamainya Batavia, yang menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda selama lebih dari tiga abad. Kota ini menjadi simbol kekuasaan kolonial, lengkap dengan sistem segregasi sosial dan arsitektur khas Eropa yang kental.

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, nama Batavia diubah menjadi Djakarta sebagai bagian dari program de-Nederlandisasi. Meskipun masa pendudukan Jepang penuh penderitaan, semangat nasionalisme rakyat Indonesia tumbuh kuat, dan menjadi salah satu pemicu lahirnya Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Pasca kemerdekaan, Djakarta diserap sebagai nama resmi yang kemudian ditetapkan menjadi “Jakarta”. Meski baru resmi digunakan di masa pendudukan Jepang, akar nama tersebut berasal dari “Jayakarta.”Makna Jayakarta berarti kota kemenangan, sehingga memiliki nilai historis yang kuat. Itulah sebabnya, ulang tahun Jakarta selalu diperingati pada 22 Juni.

Memasuki masa kemerdekaan, Jakarta memainkan peran vital dalam mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, termasuk menghadapi pasukan Sekutu dan Belanda yang datang kembali melalui NICA. Pelabuhan Tanjung Priok menjadi pintu masuk mereka ke Indonesia. Jakarta menjadi saksi peristiwa-peristiwa krusial seperti agresi militer Belanda, pergantian kabinet, hingga perundingan diplomatik yang berujung pada pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949.

Jakarta terus menjadi pusat dinamika nasional, mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi. Hampir semua peristiwa besar di negeri ini terjadi di Jakarta. Hal ini sudah cukup untuk menegaskan bahwa Jakarta adalah kota kunci dan wajah dari Indonesia.

Di masa Orde Lama, di bawah Presiden Soekarno, Jakarta menjadi simbol perlawanan terhadap imperialisme. Pembangunan Monas, Masjid Istiqlal, dan Gelora Bung Karno menjadi bagian dari mimpi besar Soekarno untuk menjadikan Jakarta lambang kejayaan bangsa. Namun, secara tata kota, Jakarta masih menghadapi persoalan klasik seperti banjir, kemiskinan, dan infrastruktur yang tertinggal.

Era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto membawa modernisasi kota secara cepat. Jalan tol dalam kota, pusat perbelanjaan, dan kawasan pemukiman baru bermunculan. Gubernur Jakarta ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat dan mengadopsi pendekatan teknokratis. Sayangnya, pembangunan cenderung eksklusif dan menimbulkan ketimpangan sosial yang tajam. Penggusuran atas nama pembangunan menjadi hal yang umum.

Reformasi 1998 menjadi titik balik penting. Untuk pertama kalinya, rakyat Jakarta dapat memilih langsung gubernur dan wakil gubernurnya. Sejak 2007, figur-figur seperti Fauzi Bowo, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, hingga Anies Baswedan muncul melalui proses demokrasi yang lebih terbuka dan partisipatif. Namun, tantangan klasik seperti banjir, kemacetan, ketimpangan sosial, dan birokrasi yang kompleks masih belum sepenuhnya teratasi.

Menjelang Pilkada Serentak 2024, Jakarta kembali menjadi sorotan utama dalam peta politik nasional. Di saat yang sama, Pemerintah Pusat tengah membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur. Namun demikian, Jakarta tetap memegang peran strategis sebagai pusat ekonomi, budaya, kota global, sekaligus simbol kekuasaan. Nama-nama seperti Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Rano Karno, Pramono Anung, hingga tokoh-tokoh Betawi mulai masuk dalam radar politik. Koalisi-koalisi besar pun berlomba merebut dukungan rakyat.

Dalam kondisi yang dinamis tersebut, Pramono Anung akhirnya terpilih sebagai Gubernur Jakarta. Sosok politisi senior PDIP ini dikenal tenang, berpengalaman, dan loyal pada visi kenegaraan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden sebelumnya. Ia datang bukan sekadar sebagai tokoh kompromi, tapi membawa misi besar: menjadikan Jakarta masuk dalam daftar 50 kota global teratas dunia dalam target waktu hingga tahun 2029 ke depan.

Saya meyakini Gubernur Jakarta, Pramono Anung, memiliki visi besar yang mencakup penguatan posisi Jakarta sebagai pusat ekonomi digital, industri kreatif, dan sektor strategis lainnya. Ekosistem startup dan sektor digital akan terus diperluas, sejalan dengan percepatan elektrifikasi transportasi publik. 

Tergambar jelas bahwa jaringan MRT, LRT, dan bus listrik akan dikembangkan secara optimal, bahkan jika memungkinkan hingga mencakup wilayah aglomerasi. Dalam penanganan banjir, rob, penurunan muka tanah, dan kenaikan permukaan air laut, Pemprov DKI Jakarta juga menegaskan komitmennya untuk mendukung Proyek Strategis Nasional (PSN) Giant Sea Wall (GSW) atau Tanggul Laut Raksasa.Seluruh layanan kota akan diarahkan untuk mewujudkan efisiensi, inklusivitas, dan keberlanjutan.

Dalam bidang diplomasi kota, Jakarta sangat memungkinkan akan memperluas jaringan sister city, menjadi tuan rumah forum-forum global, dan membentuk Jakarta Global Center sebagai pusat diplomasi urban. Fokus penataan kota tidak lagi pada simbol kekuasaan, tetapi pada kenyamanan hidup dan kualitas lingkungan. Program reformasi birokrasi dan digitalisasi layanan publik akan menjadi prioritas utama, dengan kontrak kinerja ASN yang transparan dan terukur.

Rencana Pemindahan status ibu kota bukan akhir dari peran Jakarta. Justru, tantangan barunya adalah menjadi kota global yang mandiri dan kompetitif. Pramono Anung memahami tantangan ini dengan matang. Ia bukan tipe pemimpin populis, tetapi teknokrat-politisi yang mampu menjahit kepentingan berbagai pihak.

Kini, dengan kepemimpinannya, Jakarta menatap masa depan sebagai kota dunia—bukan sekadar kota nasional. Jakarta akan menjadi episentrum baru ekonomi, budaya, dan inovasi, tempat bertemunya investasi global, talenta internasional, dan ide-ide perubahan.

Dalam perayaan puncak HUT ke-498 Jakarta—yang menandai usia Jakarta yang hampir memasuki lima abad—di Lapangan Banteng, Minggu 22 Juni 2025, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo, mengajak masyarakat untuk terus mendukung kepemimpinannya bersama Wakil Gubernur Rano Karno. Ajakan ini disampaikan dengan harapan dapat mewujudkan Jakarta yang lebih aman, nyaman, indah, dan mudah diakses.

Pada kesempatan yang sama, Pramono juga menyoroti kemacetan sebagai persoalan klasik Jakarta dan menyatakan akan menerapkan konsep Transjabodetabek untuk menguranginya. Ia berkomitmen menyediakan 100 persen akses air bersih pada tahun 2029, serta mengatasi persoalan banjir melalui normalisasi Sungai Ciliwung dan pengerukan rutin saluran air.

Pramono menekankan bahwa seluruh upaya tersebut hanya akan berhasil dengan dukungan dan keterlibatan aktif masyarakat dalam membangun Jakarta yang lebih baik.

Dengan kepemimpinan Gubernur Pramono Anung, jargon “Jakarta bukan lagi hanya kota kita, tetapi kota dunia” tampaknya layak digaungkan ke pentas global.