Jika Eko Patrio Mundur, Viva Yoga atau Yandri Layak Duduki Posisi Sekjen PAN Dampingi Zulhas

AKAN lebih terhormat dan bijak apabila Eko Patrio dan Uya Kuya mengajukan pengunduran diri, baik dari kepengurusan PAN maupun dari keanggotaan DPR RI
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Beberapa hari lalu, tepatnya pada Sabtu, 6 September 2025, saya tersentak membaca informasi dari seorang teman melalui WhatsApp mengenai respons kader Partai Amanat Nasional (PAN) atas penonaktifan Eko Patrio dan Uya Kuya dari keanggotaan DPR RI. Pada hari itu dan keesokan harinya, Minggu, 7 September 2025, berita tersebut sudah muncul di sejumlah media online.
Diketahui sebanyak tiga puluh kader dan simpatisan PAN telah menyampaikan aspirasi. Mereka mendesak Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, dan Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan, agar secara tegas mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Koruptor.
Aspirasi tersebut disampaikan melalui petisi online Forum Warga PAN Dukung Pengesahan UU Perampasan Aset Koruptor dan Tindak Pidana Khusus yang dikoordinasikan oleh Syafrudin Budiman, SIP, pada Sabtu (6/9/2025).
Dalam pernyataannya, Syafrudin menegaskan bahwa tiga puluh kader dan warga PAN telah menandatangani petisi tersebut. Langkah ini ditempuh sebagai dorongan politik agar PAN segera merespons tuntutan publik.
Menurut Syafrudin, yang akrab disapa Gus Din, masyarakat menaruh harapan besar kepada PAN untuk mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset. Ia menegaskan bahwa regulasi tersebut sangat dibutuhkan guna memperkuat upaya pemberantasan korupsi sekaligus memulihkan kerugian negara.
Selain mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset, Petisi Online Forum Warga PAN juga meminta Ketua Umum DPP PAN mengevaluasi dan mereposisi Eko Patrio dari jabatannya sebagai Sekjen DPP PAN. Eko dinilai telah mencederai marwah dan nama baik PAN di mata publik akibat tindakannya berjoget menggunakan atribut partai dengan cara yang dianggap tidak pantas.
Lebih lanjut, Gus Din berharap Eko Patrio dan Uya Kuya legawa atas penonaktifan mereka sebagai anggota DPR RI. Ia juga mendorong keduanya untuk mengundurkan diri dari keanggotaan DPR RI, sekaligus meminta Eko Patrio mundur dari jabatannya sebagai Sekjen DPP PAN.
Atas dasar itu, pihaknya mendesak Ketua Umum DPP PAN untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan segera mengganti posisi Sekjen dengan sosok yang lebih berkapasitas dan berintegritas.
Di sisi lain, langkah Zulkifli Hasan dan Putri Zulhas menonaktifkan Eko Patrio serta Uya Kuya dari keanggotaan DPR RI diapresiasi sebagai bentuk kepekaan terhadap aspirasi publik. Bahkan, Putri Zulhas disebut turut menghentikan gaji dan tunjangan keduanya. Namun demikian, dari perspektif hukum ketatanegaraan, kebijakan “nonaktif” tersebut menimbulkan persoalan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), istilah nonaktif tidak dikenal. Mekanisme yang sah hanya dua, yaitu Pergantian Antar Waktu (PAW) dan pemberhentian sementara. PAW diberlakukan jika ada pelanggaran serius atau atas permintaan partai, sedangkan pemberhentian sementara berlaku apabila anggota DPR berstatus terdakwa dalam perkara pidana berat.
Dengan demikian, status nonaktif tidak serta-merta menghapus keanggotaan seseorang di DPR maupun hak konstitusional yang melekat pada jabatannya.
Perlu dicatat, persoalan ini juga termasuk dalam tuntutan rakyat terkait Etika Anggota DPR, yang merupakan bagian dari total 17+8 tuntutan. Sejalan dengan itu, pimpinan DPR didorong untuk meminta Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menindaklanjuti dugaan pelanggaran etik terhadap anggota legislatif yang telah dinonaktifkan partai karena dinilai melukai kepercayaan publik.
Dalam proses tersebut, pimpinan DPR juga diharapkan mendorong MKD berkoordinasi dengan Mahkamah Kehormatan Partai Politik guna menindaklanjuti kasus ini secara lebih komprehensif.
Selain itu, dalam 17+8 tuntutan tersebut juga terdapat poin khusus mengenai Sanksi Kader Partai. Pada bagian ini, rakyat menegaskan bahwa partai politik wajib menjatuhkan sanksi tegas, terhadap kader yang bersikap tidak etis dan memicu kemarahan publik.
Oleh karena itu, agar polemik tidak berlarut-larut, langkah paling elegan sekaligus konstitusional adalah pengunduran diri secara sukarela, baik dari keanggotaan DPR maupun dari struktur partai. Akan lebih terhormat dan bijak apabila Eko Patrio dan Uya Kuya mengajukan pengunduran diri, baik dari kepengurusan PAN maupun dari keanggotaan DPR RI.
Sikap demikian akan menunjukkan integritas politik, mempercepat proses PAW, menjaga citra PAN, serta memberikan kepastian hukum kepada publik. Sebaliknya, jika hanya mengandalkan status nonaktif, hal itu justru berpotensi menimbulkan kebingungan, menurunkan kredibilitas lembaga legislatif, dan memperpanjang ketidakpastian politik.
Apabila Eko Patrio benar-benar mundur dari posisi Sekjen PAN, sosok yang paling layak mendampingi Zulkifli Hasan adalah Viva Yoga Mauladi atau Yandri Susanto. Keduanya merupakan kader senior dengan rekam jejak panjang serta kontribusi signifikan bagi PAN.
Viva Yoga Mauladi telah lama berkecimpung dalam struktur internal partai, mulai dari Wakil Sekjen, Ketua Bappilu, hingga Ketua Badan Pemenangan Pemilu. Saat ini, ia menjabat Wakil Ketua Umum DPP PAN periode 2024–2029. Pengalaman panjang tersebut membuatnya memahami secara mendalam mekanisme organisasi, aspirasi kader, serta strategi konsolidasi politik. Saat ini ia juga mengemban amanah sebagai Wakil Menteri Transmigrasi Indonesia.
Sementara itu, Yandri Susanto memiliki kiprah politik yang juga menonjol. Ia memulai karier dari organisasi sayap PAN seperti WM PAN dan BM PAN, kemudian menjadi anggota DPR, Wakil Ketua MPR, hingga dipercaya sebagai Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal sejak Oktober 2024. Kini sebagai Wakil Ketua Umum DPP PAN, Yandri dikenal pekerja keras dengan jaringan luas di legislatif maupun eksekutif.
Kombinasi pengalaman keduanya dapat memperkuat kepemimpinan Zulhas. Viva Yoga unggul dalam menjaga stabilitas internal dan memperkuat kapasitas struktural partai, sedangkan Yandri memiliki keunggulan dalam menjangkau akar rumput serta menjembatani komunikasi politik lintas lembaga. Dari sisi kompetensi, loyalitas, dan reputasi, keduanya sangat layak dipertimbangkan sebagai Sekjen PAN.
Dalam konteks politik nasional, apabila Eko Patrio dan Uya Kuya mundur dari DPR RI sekaligus dari struktur partai, hal itu berpotensi memberi sinyal positif bahwa PAN serius menjaga marwah politik serta mendengar aspirasi rakyat. Publik telah menunjukkan kekecewaan, sehingga jika keduanya tetap bertahan, resistensi terhadap PAN boleh jadi semakin menguat.
Kondisi tersebut berpotensi merugikan PAN dalam jangka panjang, baik dari sisi elektabilitas maupun citra kelembagaan. Situasi ini memang tidak mudah bagi PAN, namun kemarahan publik dan adanya desakan dari internal partai merupakan fakta nyata yang perlu diperhatikan secara serius.
Oleh karena itu, jika Eko Patrio mundur dari jabatan Sekjen PAN, penggantian dengan kader yang lebih berpengalaman seperti Viva Yoga atau Yandri Susanto dapat dipandang sebagai langkah rasional, strategis, sekaligus konstitusional. Langkah ini diyakini mampu memperkuat kepemimpinan Zulkifli Hasan serta menyelamatkan kredibilitas PAN di mata masyarakat.