Lapor Pak Gubernur Pramono, BPK Rekomendasikan Tanah Pengganti 65,94 Ha, dari Rawa Menjadi TPU Siap Pakai: Sudahkah Tuntas?

Foto: IST – Sugiyanto (SGY) – Emik di Kantor BPK DKI saat meminta data LHP BPK Provinsi DKI Jakarta

Pertanyaan lain yang wajar muncul adalah: apakah rekomendasi BPK tersebut telah dituntaskan 100 persen? Hal itu hanya dapat dibuktikan melalui informasi yang jelas, gamblang, dan transparan dari Pemprov DKI Jakarta.

Oleh   : Sugiyanto (SGY)-Emik
Aktivis Jakarta

Kemarin, Selasa 19 Agustus 2025, saya menulis artikel berjudul “BPK dan Pemprov DKI Perlu Membuka Rekomendasi yang Belum Dilaksanakan maupun Tidak Dapat Ditindaklanjuti: UU Ancaman Pidana 1,5 Tahun.”

Tulisan kali ini merupakan kelanjutan sekaligus contoh konkret yang berkaitan dengan artikel sebelumnya, khususnya mengenai rekomendasi BPK yang hingga kini diduga belum atau bahkan tidak dapat dilaksanakan. Pada kesempatan lain, saya akan mencoba mengurai berbagai rekomendasi BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta yang jumlahnya cukup banyak, dengan menyoroti kasus-kasus besar dan penting secara bertahap, satu per satu.

Salah satu rekomendasi BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 adalah agar Gubernur menginstruksikan Kepala BPKAD berkoordinasi dengan PT …  dan BPN untuk menelusuri keberadaan tanah seluas 34.095 m² yang belum bersertifikat HPL atas nama Pemprov DKI Jakarta, menelusuri sertifikat HGB di atas HPL atas selisih perhitungan tanah seluas 182.368 m², serta menelusuri sertifikat HPL atas nama Pemprov DKI Jakarta seluas 274.761 m² sekaligus mengamankan sertifikat tersebut sesuai ketentuan.

Selain itu, BPK juga merekomendasikan agar Pemprov meminta pertanggungjawaban PT … atas kewajiban menyerahkan tanah pengganti seluas 659.430 m² di Kelurahan Pegadungan, yang disebutkan masih berupa rawa, untuk menjadi tanah TPU dalam kondisi siap pakai sesuai perjanjian. BPK bahkan menegaskan bahwa total luas tanah yang wajib diserahkan adalah 659.430 m² atau 65,94 hektare.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) disebutkan adanya Berita Acara Serah Terima (BAST) Nomor 4918/1992 tanggal 7 Agustus 1992. Aset tersebut telah bersertifikat Hak Pakai (HP) Nomor 484 tanggal 14 Juni 1991 atas nama Pemprov DKI Jakarta. Namun dijelaskan dalam LHP BPK, lahan yang dijanjikan masih berupa rawa atau empang, padahal seharusnya sudah dalam kondisi siap pakai sebagai TPU.

Sebagaimana diketahui, dalam Rencana Induk (Master Plan) 1965–1985, Pemprov DKI pada 1984 dan 1986 melakukan kerja sama pemanfaatan aset TPU di Mangga Dua, Jelambar Islam, Jelambar Budha Jakarta Barat, serta TPU Sanjaya Jakarta Selatan. Total aset yang dikerjasamakan mencapai 708.850 m² atau 70,88 hektare. 

Diuraikan lebih lanjut dalam LHP BPK bahwa sesuai perjanjian, pengembang berkewajiban melaksanakan pembangunan fisik, melakukan peremajaan lingkungan atas aset bekas TPU, serta menyediakan tanah pengganti dalam kondisi siap pakai. Dari total luas yang dikerjasamakan, 308.856 m² berada di Kelurahan Mangga Dua, sedangkan 399.994 m² sisanya terdiri atas 86.963 m² di bekas TPU Jelambar Islam, 301.508 m² di bekas TPU Jelambar Budha, dan 11.793 m² di bekas TPU Sanjaya.

Namun kewajiban pengembang untuk menyediakan tanah pengganti TPU diduga belum jelas dan masih perlu dipertanyakan hingga saat ini. Terdapat dugaan kuat bahwa BPKAD pada waktu itu tidak sepenuhnya memahami isi perjanjian, termasuk kewajiban pengembang untuk menyediakan lahan TPU siap pakai seluas 65,94 hektare. Tidak tertutup kemungkinan pula adanya pembiaran atau sikap seolah-olah tidak mengetahui persoalan tersebut.

Atas kondisi ini, Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) DKI Jakarta perlu segera melacak keberadaan tanah dimaksud. Jika lahan pengganti tersebut ternyata belum dalam kondisi siap pakai, Pemprov DKI berhak menuntut pertanggungjawaban pengembang. Namun jika sebaliknya, lahan sudah sesuai perjanjian, maka hasilnya perlu segera diumumkan kepada publik agar transparan dan diketahui masyarakat luas.

Dalam hal ini, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo diharapkan dapat melakukan pengecekan langsung terhadap aset seluas 65,94 hektare tersebut. Jika berkenan, saya siap mendampingi untuk membuktikan analisis yang selama ini saya lakukan berdasarkan LHP BPK, apakah benar adanya atau justru keliru.

Pertanyaan lain yang wajar muncul adalah: apakah rekomendasi BPK tersebut telah dituntaskan 100 persen? Hal itu hanya dapat dibuktikan melalui informasi yang jelas, gamblang, dan transparan dari Pemprov DKI Jakarta.

Selain persoalan tanah seluas 65,94 hektare ini, masih terdapat masalah lain yang tak kalah penting. Informasi tersebut akan saya sampaikan langsung kepada Gubernur. Singkatnya, kasus ini patut diduga menimbulkan banyak persoalan yang harus segera dituntaskan oleh Pemprov DKI Jakarta. Lebih jauh, kasus ini juga mengindikasikan adanya potensi masalah besar lain yang hingga kini belum terungkap.

Semua uraian ini merujuk pada LHP BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014, khususnya pada halaman 223 hingga 230. Jika persoalan ini, beserta kemungkinan adanya rekomendasi BPK lain yang belum tuntas, diungkap lebih mendalam oleh Gubernur Pramono melalui pembentukan Tim Khusus, bukan tidak mungkin akan terkuak fakta-fakta yang bisa mengejutkan banyak pihak.

Saya berharap di bawah kepemimpinan Gubernur Pramono Anung Wibowo, persoalan ini dapat dituntaskan dengan hasil yang menguntungkan bagi Pemprov DKI Jakarta. Dibutuhkan keberanian besar untuk menyelesaikannya demi kepentingan daerah dan masyarakat. Saya meyakini Gubernur Pramono Anung Wibowo, sebagai politisi senior sekaligus mantan birokrat berpengalaman, mampu menuntaskannya.

 

The End