Usulan Pembatalan Kenaikan Pajak PBB-P2 di Provinsi DKI Jakarta

PEMBATALAN kenaikan tersebut untuk PBB-P2 tahun 2025 di Jakarta akan jauh lebih menguntungkan dan memberikan ketenangan lebih bagi masyaraka
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Hari Senin, 18 Agustus 2025, saya membaca pemberitaan tentang kenaikan PBB-P2 di Provinsi DKI Jakarta melalui postingan teman-teman di WAG. Saya merespons secara positif dan mendukung perluasan sosialisasi.
Namun, jika memungkinkan, pembatalan kenaikan tersebut untuk PBB-P2 tahun 2025 di Jakarta akan jauh lebih menguntungkan dan memberikan ketenangan lebih bagi masyarakat.
Gubernur Pramono Anung perlu memperkuat sosialisasi, terutama mengenai ketentuan bahwa bagi NJOP di bawah Rp 2 miliar dan apartemen dengan NJOP di bawah Rp 650 juta, PBB-P2 tetap nol persen. Kenaikan PBB-P2 memang berlaku, tetapi hanya berkisar sekitar 5–10 persen — termasuk paling ringan jika dibandingkan dengan daerah lain — dan dilakukan secara transparan.
Selain itu, Pemprov DKI memberikan insentif menarik berupa diskon 5 persen bagi wajib pajak yang membayar sebelum 30 September 2025.
Sosialisasi masif sangat penting untuk mencegah penafsiran keliru atau polemik publik, seperti yang pernah terjadi di Kabupaten Pati. Di sana, Bupati Sudewo menaikkan PBB-P2 hingga 250 persen, yang kemudian memicu protes besar dan rencana pemakzulan sebelum akhirnya dibatalkan.
Dengan memberikan pemahaman yang baik, masyarakat pun tidak akan terkejut atau terguncang dalam menghadapi kebijakan pajak daerah.
Namun dalam konteks ini, jika masih memungkinkan, saya mengusulkan pembatalan kenaikan PBB-P2 di Jakarta untuk tahun 2025. Langkah ini merupakan keputusan berani sekaligus cerdas dan populis.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap dapat mendorong peningkatan penerimaan pajak tanpa harus membebani masyarakat kecil. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pencegahan kebocoran, peningkatan pelacakan objek pajak, serta perbaikan sistem administrasi.
Selain itu, perlu diterapkan layanan jemput bola dan pemutakhiran data oleh RT/RW maupun kelurahan, sehingga setiap warga yang berhak memperoleh keringanan benar-benar bisa memanfaatkannya. Hal ini juga sejalan dengan rekomendasi DPRD DKI yang menekankan pentingnya sosialisasi serta pendampingan masyarakat dalam memperbarui data NIK dan kepemilikan objek pajak.
Sesungguhnya, kebijakan pembebasan PBB ini telah tertuang dalam Keputusan Gubernur No. 281 Tahun 2025 yang diteken pada 25 Maret 2025. Kebijakan tersebut memberikan pembebasan bagi rumah pertama dengan NJOP di bawah Rp2 miliar serta apartemen/rusun di bawah Rp650 juta.
Adapun rumah kedua dengan NJOP di bawah Rp2 miliar hanya mendapatkan keringanan 50 persen, sedangkan rumah ketiga dan seterusnya tidak memperoleh keringanan. Hal ini menunjukkan adanya pengaturan bertingkat yang telah diberlakukan. Dengan penguatan sosialisasi, kebijakan ini dapat berjalan lebih efektif dan adil.
Melalui pendekatan ini, meskipun pembatalan penuh terhadap kenaikan PBB-P2 mungkin sulit diwujudkan, setidaknya upaya untuk mengurangi atau menunda kenaikan tersebut sambil mengedepankan optimalisasi PAD merupakan langkah yang strategis sekaligus berempati.
Selain itu, memperluas keberpihakan kepada warga berpenghasilan rendah melalui transparansi dan pemberian diskon sebagaimana juga disampaikan oleh Gubernur Pramono, akan semakin memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Demikian usulan ini saya sampaikan. Semoga dapat menjadi bahan masukan konstruktif bagi penyusunan kebijakan ke depan.