Blunder! Pernyataan Sahroni Berpotensi Memicu Tekanan Publik untuk Meminta Ia Mundur dari DPR

ALIH -alih menanggapi kritik rakyat dengan sikap terbuka dan bijaksana, Sahroni justru melontarkan komentar yang terkesan merendahkan masyarakat.
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Menyikapi ramainya wacana yang berkembang di media sosial tentang seruan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), sebelumnya saya menulis artikel berjudul “DPR Tak Bisa Lagi Dibubarkan: Kecuali dengan Cara Non-Konstitusional, ‘Revolusi’?”. Tulisan tersebut menegaskan bahwa menurut UUD 1945 tidak ada satu pun mekanisme hukum yang memungkinkan DPR dibubarkan, kecuali melalui jalur non-konstitusional yang justru akan membawa bangsa pada kekacauan dan kehancuran.
Wacana pembubaran DPR menguat seiring beredarnya ajakan demonstrasi pada 25 Agustus di depan Gedung DPR Senayan. Situasi ini memperlihatkan adanya ketidakpuasan publik yang meluas terhadap kinerja lembaga legislatif. Namun, semestinya ketidakpuasan tersebut disalurkan melalui jalur konstitusional, seperti pemilu, partisipasi publik dalam legislasi, maupun melalui mekanisme pengawasan rakyat terhadap wakilnya.
Akan tetapi, persoalan semakin panas setelah muncul pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni. Alih-alih menanggapi kritik rakyat dengan sikap terbuka dan bijaksana, Sahroni justru melontarkan komentar yang terkesan merendahkan masyarakat. Dalam kunjungan kerjanya ke Polda Sumatera Utara pada Jumat, 22 Agustus, ia menyebut orang-orang yang menyerukan pembubaran DPR sebagai “mental orang tolol sedunia.”
Berikut beberapa pernyataan Ahmad Sahroni yang saya kutip dari video yang viral di YouTube dan berbagai media sosial lainnya:
“Catat nieh, orang yang cuma mental bilang bubarin DPR, itu adalah orang totol sedunia. Kenapa, kita ini emang orang pinter semua, engak bodo semua kita. Tapi ada tatacara kelola, bagaimana menyampaikan kritik yang harus dievaluasi oleh kita. Kita memang belum tentu benar, belum tentu hebat, engak, tapi minimal kita mewakili kerja-kerja masyarakat.”
Meskipun pernyataan Sahroni mungkin dimaksudkan baik, sebagai anggota DPR ia seharusnya tidak menggunakan narasi yang terkesan merendahkan masyarakat. Sikap dan tutur kata seorang wakil rakyat semestinya mencerminkan penghormatan kepada konstituen yang diwakilinya.
Alih-alih menenangkan situasi, pernyataan tersebut justru memicu gelombang kemarahan di media sosial. Banyak netizen merasa diremehkan dan bahkan diserang secara personal. Bukannya meredakan tensi politik, komentar Sahroni justru memperdalam kekecewaan publik. Tidak tertutup kemungkinan tekanan akan semakin menguat dan berkembang menjadi desakan agar Ahmad Sahroni mundur dari jabatannya sebagai anggota DPR RI.
Secara aturan, mekanisme untuk memberhentikan anggota DPR memang tersedia. Dewan Kehormatan DPR (BK/DKP) dapat memproses laporan jika dianggap ada pelanggaran etika atau merusak martabat lembaga. Selain itu, partai politik juga memiliki kewenangan untuk menarik kadernya dari parlemen melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW). Dengan demikian, desakan publik agar Sahroni mundur memiliki dasar yang lebih realistis dibandingkan tuntutan membubarkan DPR secara keseluruhan.
Di sinilah pentingnya membedakan antara kritik terhadap institusi dan kritik terhadap individu. Membubarkan DPR jelas inkonstitusional dan berbahaya karena akan meruntuhkan sistem demokrasi yang sudah disepakati dalam UUD 1945. Sebaliknya, menuntut pertanggungjawaban personal seorang anggota DPR yang dinilai merendahkan rakyat adalah hal yang wajar dalam kerangka demokrasi. Hal itu bahkan bisa menjadi jalan pembelajaran politik, baik bagi elit maupun masyarakat, bahwa kekuasaan politik tidak boleh digunakan untuk menghina konstituen.
Jalan yang paling konstruktif adalah mendorong reformasi kelembagaan DPR secara bertahap, memperkuat mekanisme akuntabilitas internal, serta mengembalikan kepercayaan publik melalui kinerja nyata. Rakyat pun tetap memiliki senjata paling kuat, yaitu pemilu, untuk mengganti wakil-wakil yang dianggap tidak mampu menjalankan amanat.
Kesimpulannya, wacana pembubaran DPR adalah seruan populis yang bersifat emosional, tanpa dasar hukum, dan kontraproduktif bagi stabilitas negara. Namun, kemarahan publik terhadap pernyataan Ahmad Sahroni berpotensi menimbulkan desakan yang sah secara hukum dan politik agar ia mundur dari DPR. Dalam konteks demokrasi, jalur inilah yang logis, realistis, dan konstitusional. Fokus sebaiknya diarahkan pada perbaikan sistem, bukan penghancuran institusi.