Putusan MK Berpotensi Menjadi Masalah Baru yang Sulit, Rumit, Ruwet, dan Bikin Mumet

DENGAN kata lain, keputusan ini memberi ruang bagi kekuasaan tanpa legitimasi elektoral
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Saya tidak ingin lagi berdebat soal apakah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 melanggar konstitusi atau tidak. Sebab, saya meyakini para hakim MK pasti memahami isu ini secara mendalam dan tentu memiliki argumen logis untuk membantah setiap kritik terhadap putusan tersebut.
Sesungguhnya, fokus saya belakangan ini lebih banyak tertuju pada isu lokal, khususnya di DKI Jakarta, bukan pada ranah nasional. Namun, polemik putusan ini mendorong saya untuk turut memberikan pandangan. Isu ini terlalu penting untuk diabaikan, terutama karena dampaknya sangat luas dan mendasar terhadap demokrasi di tingkat daerah.
Kemarin, Jumat, 4 Juli 2025, saya menulis sebuah artikel berjudul: “MK Bak ‘Anak Macan’ yang Menggigit Induknya (DPR/MPR) Sendiri? Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024: Solusi Reformasi atau Masalah Baru?” Dalam artikel ini, saya memaparkan lima alasan yang mendasari pandangan saya yang berbeda terhadap putusan MK tersebut.
Terkait hal tersebut, pada kesempatan lain saya mungkin akan mengulas secara lebih rinci poin kelima. Dalam artikel sebelumnya, saya hanya menyinggungnya secara umum dan belum menguraikannya secara mendalam, karena isu ini memerlukan analisis yang lebih tajam dan komprehensif—yakni terkait adanya kecurigaan politik terhadap dugaan aktor serta motif di balik putusan tersebut.
Untuk saat ini, izinkan saya menyampaikan poin utama pandangan saya terhadap putusan MK tersebut sebagai berikut:
“Pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD serta kepala daerah merupakan kombinasi yang berbahaya. Kebijakan ini berpotensi melumpuhkan kontrol demokratis rakyat terhadap pemerintah.” (SGY)-Emik.
Lebih dari itu,
“Pemisahan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk konstitusionalisasi jabatan tanpa mandat rakyat—yakni suatu bentuk perampasan kedaulatan rakyat secara legal dan formal. Ini tentu bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.” (SGY)-Emik.
Saya tambahkan pula,
“Argumentasi ini sangat logis dan beralasan, sebab lahirnya Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang dibacakan pada 26 Juni 2025, membuka peluang perpanjangan masa jabatan DPRD dan Kepala Daerah atau Penjabat (Pj) Kepala Daerah tanpa melalui proses pemilihan langsung oleh rakyat. Dengan kata lain, keputusan ini memberi ruang bagi kekuasaan tanpa legitimasi elektoral.” (SGY)-Emik
Lebih lanjut, saya berpendapat:
“Boleh jadi memang ada maksud baik di balik putusan MK tersebut, yang mungkin berangkat dari keprihatinan terhadap persoalan mendasar dalam sistem hukum pemilu dan ketatanegaraan kita. Namun, perbaikan seharusnya dilakukan secara bertahap dan sistematis—bukan melalui keputusan yang justru memicu polemik besar di tengah masyarakat dan menimbulkan dugaan serta kecurigaan negatif.” (SGY)-Emik
Maka dari itu,
“Putusan tersebut lebih tepat disebut sebagai keputusan yang berpotensi menjadi masalah baru yang sulit, rumit, ruwet dan bikin mumet, bukan solusi reformasi.” (SGY)-Emik.
Itulah tanggapan saya atas Putusan MK yang hingga kini masih memicu polemik di tengah masyarakat. DPR, pemerintah, partai politik, dan berbagai pihak lainnya tampak pusing tujuh keliling dalam merespons dan menindaklanjuti putusan ini.