Tuntutan Mundur Eko, Uya, Sahroni, Nafa Urbach, dan Kadir dari Partai dan DPR Kian Wajar: Istilah ‘Nonaktif’ Hanya Simbolik, Bukan Mekanisme Hukum

Foto-IST-Sugiyanto (SGY)-Emik

AGAR tidak membebani partai maupun DPR, langkah paling logis dan bertanggung jawab adalah pengunduran diri secara sukarela

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)

Tuntutan agar Eko Patrio, Uya Kuya, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, dan Adies Kadir mundur dari partai maupun DPR kian wajar ketika melihat gejolak publik belakangan ini. Istilah “nonaktif” yang diterapkan partai justru menimbulkan kekeliruan karena tidak memiliki dasar hukum formal dalam tata aturan perundang-undangan dan tidak meredam krisis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.

Kelima anggota DPR ini memang telah dinyatakan nonaktif oleh partai masing-masing sejak 1 September 2025. Adies Kadir dinonaktifkan oleh Partai Golkar, Eko Patrio dan Uya Kuya oleh PAN, sedangkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach oleh Partai NasDem. Langkah tersebut diambil setelah pernyataan dan sikap mereka memicu kecaman publik, mulai dari pernyataan Sahroni yang menyebut gagasan pembubaran DPR “tolol”, pembelaan Nafa Urbach terhadap tunjangan rumah DPR, hingga Eko dan Uya yang berjoget di tengah krisis sosial, serta sikap Adies Kadir yang membela kenaikan tunjangan yang dinilai tidak sensitif.

Namun secara hukum, istilah “nonaktif” tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) beserta perubahannya. UU ini hanya mengenal dua nomenklatur, yaitu Pergantian Antar Waktu (PAW) dan Pemberhentian Sementara.

PAW diatur dalam Pasal 239. Seorang anggota DPR dapat berhenti antarwaktu karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Pemberhentian antarwaktu dapat terjadi apabila anggota DPR tidak melaksanakan tugas selama tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan, melanggar sumpah atau kode etik, dinyatakan bersalah dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih, diusulkan oleh partai, tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR, melanggar ketentuan larangan dalam UU, atau diberhentikan dari partai politiknya.

Adapun pemberhentian sementara diatur dalam Pasal 244. Mekanisme ini berlaku bagi anggota DPR yang menjadi terdakwa tindak pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih, atau perkara tindak pidana khusus. Jika terbukti bersalah, ia diberhentikan tetap; jika tidak terbukti, ia diaktifkan kembali. Selama pemberhentian sementara, anggota DPR tetap berhak atas sebagian hak keuangan tertentu.

Dengan demikian, penonaktifan yang dilakukan partai tidak masuk dalam kategori PAW maupun pemberhentian sementara. Fakta hukum menunjukkan bahwa selama tidak ada PAW, kelima anggota tersebut tetap sah sebagai anggota DPR, menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas, meski secara politik mereka diklaim “nonaktif”. Proses PAW sendiri membutuhkan usulan partai kepada pimpinan DPR, diteruskan ke Presiden, dan memerlukan dasar hukum yang kuat. Mekanisme ini memang panjang dan rumit, bahkan bisa berujung pada gugatan hukum apabila anggota yang bersangkutan menolak.

Namun, agar tidak membebani partai maupun DPR, langkah paling logis dan bertanggung jawab adalah pengunduran diri secara sukarela. Publik sudah terlanjur marah dan kecewa, baik kepada mereka maupun anggota DPR lain yang dianggap tidak peka terhadap krisis. Keberadaan mereka di partai maupun DPR justru menambah beban citra institusi. Dengan mengundurkan diri, masalah bisa diselesaikan lebih elegan, partai dapat segera memproses PAW, dan representasi rakyat tetap terjaga melalui calon legislatif berikutnya.

Keputusan mundur akan menunjukkan sikap legowo dan integritas politik. Hal ini sekaligus meringankan beban partai, menjaga kehormatan DPR, serta memberikan kepastian hukum dan status keanggotaan yang jelas. Sebaliknya, penggunaan istilah “nonaktif” tanpa landasan hukum hanya memperpanjang ketidakpastian, menurunkan akuntabilitas, dan menambah kebingungan publik mengenai hak, kewajiban, serta status konstitusional para anggota DPR tersebut.

Berdasarkan UU MD3 dan Tata Tertib DPR, satu-satunya jalan sah untuk mengakhiri keanggotaan DPR adalah melalui PAW, bukan sekadar penonaktifan internal. Oleh karena itu, mundurnya kelima anggota DPR ini dari partai sekaligus dari keanggotaan DPR adalah langkah paling tepat, karena membuka jalan bagi penyelesaian hukum yang benar, menjaga citra lembaga politik, serta mengembalikan kepercayaan rakyat.